Di tengah semangat membangun ekonomi desa berbasis kemandirian dan gotong royong, wacana pendirian Koperasi Desa Merah Putih muncul sebagai jawaban atas stagnasi ekonomi pedesaan. Namun, tidak sedikit pihak yang mempertanyakan: Apakah koperasi ini akan benar-benar berhasil, atau hanya mengulangi kegagalan model lama seperti Koperasi Unit Desa (KUD)?
Pertanyaan ini sah untuk diajukan. Koperasi Unit Desa, yang pernah digagas sebagai tulang punggung ekonomi desa pada masa Orde Baru, pada akhirnya sebagian besar gagal berkembang secara sehat. Banyak yang mati suri, terjebak dalam utang, atau hanya menjadi formalitas administratif tanpa fungsi riil. Maka dari itu, membedah apakah Koperasi Merah Putih memiliki fundamental yang lebih kuat menjadi krusial dalam menilai prospeknya.
Belajar dari Kegagalan KUD
KUD pada dasarnya dibentuk dengan semangat yang sama seperti Koperasi Merah Putih: mendorong kemandirian ekonomi petani dan pelaku ekonomi desa. Namun, kegagalan KUD sebagian besar disebabkan oleh:
- Intervensi berlebihan dari pemerintah, yang membuat koperasi tidak tumbuh secara organik dari kebutuhan masyarakat.
- Ketergantungan pada bantuan, baik modal maupun proyek, yang menjadikan koperasi pasif.
- Manajemen yang tidak profesional, karena pengurus dipilih atas dasar politik atau hubungan sosial, bukan kompetensi.
Model KUD juga kerap menjadi alat politik ekonomi, yang alih-alih memberdayakan anggota, justru memusatkan kekuasaan ekonomi pada segelintir elite desa. Ketika dukungan pemerintah berhenti, KUD pun runtuh karena tidak memiliki daya tahan internal.
Koperasi Merah Putih: Model Baru dengan Jiwa Lama?
Koperasi Merah Putih, sebagaimana direncanakan dalam berbagai Musyawarah Desa Khusus, mengusung pendekatan baru: koperasi sebagai institusi ekonomi desa yang modern, transparan, dan berbasis digital. Ada tiga hal yang membuat Koperasi Merah Putih berpotensi tidak mengulangi kegagalan KUD:
- Pendekatan partisipatif: Koperasi ini dibentuk bukan karena perintah dari atas, tapi hasil musyawarah desa yang melibatkan berbagai unsur masyarakat. Ini menjadi fondasi kuat bagi rasa memiliki (sense of ownership).
- Fokus pada rantai nilai lokal: Tidak sekadar menjual pupuk atau pinjaman mikro, koperasi diarahkan menjadi pengelola BUMDesa, pengolah hasil tani, hingga lembaga simpan pinjam yang profesional.
- Profesionalisasi dan akuntabilitas: Dengan sistem pemilihan terbuka, pelaporan keuangan berbasis aplikasi, dan pelatihan rutin bagi pengurus, koperasi diharapkan menjadi entitas ekonomi yang sehat dan bertahan panjang.
Namun demikian, potensi ini hanya akan terwujud jika desa benar-benar konsisten menjaga integritas dan profesionalitas koperasi. Tanpa itu, koperasi baru pun hanya akan menjadi “bungkus baru dari isi lama”.
Tantangan dan Harapan
Koperasi Merah Putih akan menghadapi sejumlah tantangan besar:
- Minimnya literasi keuangan di tingkat akar rumput, yang bisa menghambat partisipasi dan pemahaman anggota.
- Godaan politisasi, apalagi menjelang tahun-tahun politik, di mana koperasi bisa diseret menjadi alat pencitraan atau sumber dana kampanye.
- Ketergantungan pada dana pemerintah, terutama di tahap awal, yang bisa menciptakan ekspektasi keliru bahwa koperasi adalah “proyek bantuan”.
Meski begitu, tantangan bukan berarti hambatan mutlak. Dengan desain kelembagaan yang baik, pendidikan anggota yang konsisten, dan manajemen yang transparan, Koperasi Merah Putih dapat tumbuh menjadi model baru yang lebih adaptif terhadap zaman.
Kesimpulan
Apakah Koperasi Merah Putih akan berhasil atau justru mengulangi sejarah KUD? Jawabannya bergantung pada niat kolektif, kualitas kelembagaan, dan kemampuan untuk belajar dari masa lalu. Koperasi ini bisa menjadi tulang punggung ekonomi desa yang mandiri, adil, dan berkelanjutan — jika dikelola secara jujur dan profesional.
Jika desa mampu menjaga nilai-nilai gotong royong sambil mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola modern, maka Koperasi Merah Putih bukan sekadar harapan, tetapi bisa menjadi kenyataan. Namun jika semangat awal tergerus oleh kepentingan sempit dan pengelolaan yang lemah, maka sejarah KUD bisa saja terulang — hanya dengan nama yang berbeda.